Mengenai

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
I live in Semarang, Indonesia. Batik lover.

14 Maret 2011

History of Indonesian Batik

Many researchers had a notion about the origins of Indonesian batik. Some claimed that the Indonesian Batik originated from India. Wax-resist technique has been known from other country, like China, Egypt, and others.

The wax-resist or batik technique has been known in India since the 6th century and reached the heyday in the 16th century and 18. During the heyday, it has been made ​​of a combination of colors in the manufacture of cloth.

Rouffaer argue that the technique known as batik estimated from India or Sri Lanka in the 6th century or the 7th. Traders and people from the two regions came into Indonesian territory while spreading the ideology of the Hindu. Meanwhile, other researchers believe that the tradition of batik is a native tradition Toraja, Flores, Halmahera and Papua area. Historically, these areas were not influenced by Hinduism, but noted to have batik tradition.

However, in terms of design, Indonesian batik style is different from other countries. The development of a more diverse style batik Indonesia caused of blends with other motives and a variety of shapes and colors.

Old Javanese Batik already had complicated patterns. This pattern can only be done with an equipment called a canting. Batik canting only used in Java. Booming of batik occurred since the 12th century. When the kingdoms of Java was arised and then boomed during extending of Islam in Java.
Wikipedia states that in the European literature, batik technique was first described in a book by Sir Thomas Stamford Raffles, History of Java (1817). In 1873, van Rijekevorsel gave a piece of batik of Indonesia to the Ethnic Museum in Rotterdam. In the early 19th century, Indonesia's batik has become a popular and fascinating world

Do you want to order batik? Please do not hesitate to contact me at: yproborini@yahoo.com or riniproborini@gmail.com.


 

10 Maret 2011

Bayar nDhuwur

Ini adalah suatu bentuk 'pengakuan dosa'. Selama beberapa tahun aku menjadi anggota PJKA (Pulang Jum'at Kembali Ahad). Jakarta-Semarang. Jum'at dari Jakarta, kemudian kembali ke Jakarta lagi hari Ahad malam. Umumnya menggunakan kereta api. Argo, Senja Utama, Gumarang, Sembrani, Anggrek, atau Bangunkarta.

Setiap kali teman atau bosku bertanya,"Kamu ngga capek?"

Jawabku selalu,"Aku melakukannya dengan gembira. Capek akan hilang dengan gembiraku ini."

Mereka cuma geleng-geleng kepala.

Pagi-pagi di hari Senin, sesampai di stasiun, biasanya aku lanjutkan tidur sejenak untuk kemudian mandi dan shalat Subuh di stasiun, karena rumahku jauh di Parung, sehingga tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu. Setelah segar dan siap menuju kantor, maka biasanya aku ngojek ke kantor. Menikmati udara Jakarta di pagi hari.

Setiap kuhirup udara Jakarta, maka kuhirup semangat untuk bekerja, bersaing dan berbuat terbaik dalam hidupku. Penuh gairah... (sungguh sangat berbeda manakala kuhirup udara Semarang yang buatku sangat melenakan).

Wira-wiri Jakarta-Semarang, tentunya membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Jika rejeki sedang lebih, seringkali aku menggunakan kereta eksekutif. Apalagi waktu aku punya pacar, yang notabene, sangat protektif dan selalu melarang aku naik kereta bisnis.

Padahal, aku lebih suka naik kereta bisnis. Begitu banyak cerita kehidupan tergelar di sana....

Sempat beberapa saat, sebelum PS marak, aku melakukan "kejahatan nurani" (...PS adalah sebutan untuk pemeriksaan-tiket-serentak yang dilakukan oleh petugas KA, umumnya dari kantor pusat atau daerah operasional-daop).

Mbayar ndhuwur, istilahnya... alias tidak membeli tiket tapi tetap bisa sampai tujuan, hanya saja membayarnya separuh harga tiket... Dengan demikian setiap minggu aku berhemat cukup banyak untuk ongkos transportasiku. Karena selain angkot aku masih butuh ongkos ojek dan kadang-kadang taksi yang tidak sedikit jumlahnya.